menu

Lagu Wajib Nasional - Tanah Tumpah Darahku ( Karya : C. Simanjuntak & Sanusi Pane )





Tanah Tumpah Darahku
Karya : C. Simanjuntak & Sanusi Pane



Lirik Lagu Wajib Nasional - Tanah Tumpah Darahku

Tanah tumpah darahku yang suci mulia
Indah dan permai bagaikan intan permata
Tanah airku tanah pusaka ibuku
Selama hidupku aku setia padamu

Kali gunung langitmu yang biru nirmala
Pantai hutan lautmu ku cinta semua
Tanah airku ku puja kau di hatiku
Terima salamku hormat setia padamu

Bumi ibu pertiwi yang yang suci mulia
Indah berseri bagaikan taman segera
Tanah airku tujuan segala daya
Dirgahayulah diri ratuku bahagia


Not angka dan not balok Lagu Wajib Nasional – Tanah Tumpah Darahku




Vidio Lagu Wajib Nasional - Tanah Tumpah Darahku




Biografi singkat - Sanusi Pane

Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 – meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.

Keluarga
Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Pendidikan
Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925.
Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.

Karier
Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.

Pandangan
Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[1] Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[2] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesis Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1940.

Biografi singkat - Cornel Simanjuntak

Cornel Simanjuntak (Pematangsiantar, Sumatera Utara, 1921 - Yogyakarta, 15 September 1946) adalah seorang pencipta lagu-lagu heroik dan patriotik Indonesia. Ia dianggap sebagai tokoh yang membawa bibit unggul perkembangan musik Indonesia. 


Cornel Simanjuntak  adalah nama Batak Toba, marganya adalah Simanjuntak )

Masa Pra-Kemerdekaan 


Cornel Simanjuntak yang beragama Katolik dilahirkan di Pematang Siantar tahun 1921 dari keluarga pensiunan polisi kolonial. Cornel tamatan HIS St. Fransiscus Medan, 1937, HIK Xaverius College Muntilan 1942.

Kemudian, jadi guru di Magelang beberapa bulan. Pindah ke Jakarta, jadi guru SD Van Lith. Tetapi karena bakat seninya lebih garang, ia beralih profesi ke Kantor Kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Shidosho. Di sanalah ia menciptakan lagu propaganda Jepang antara lain: Menanam Kapas, Bikin Kapal, Menabung — yang paling populer di antaranya berjudul Hancurkanlah Musuh Kita. Guru musiknya adalah Pater J. Schouten dan Ray serta juga mendiang Sudjasmin.

Masa Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan 


Cornel memiliki sejumlah pengalaman perang. Pada tahun 1945-1946, ia mengarahkan moncong senjatanya kepada tentara Gurkha/Inggris. Malang, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen - Tangsi Penggorengan Jakarta, pahanya tertembak. Dirawat di RSUP. Belum sembuh benar, ia diselundupkan ke Karawang karena Gurkha melakukan pembersihan.

Dari Karawang ia dikirim ke Yogyakarta. Di kota inilah kemudian lahir lagu-lagu yang heroik dan patriotik. Antara lain: Tanah Tumpah Darah, Maju Tak Gentar, Pada Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka.

Peluru di paha Cornel konon tetap bersarang ketika penyakit kronis TBC menyerangnya — dan langsung menumbangkannya ke liang lahat. Ia meninggal pada tanggal 15 September 1946 di Sanatorium Pakem, Yogya, dalam status perjaka. Ia dimakamkan di Pemakaman Kerkop Yogyakarta.

Menjelang maut Cornel masih sempat mengangkat telepon untuk menyampaikan pesan-entah kepada siapa, entah pesan apa-tapi ia keburuh jatuh, dan mata serta mulutnya menjadi kaku. Menurut rekannya sesama pejuang, Karkono Kamajaya, menjelang ajal ia masih sempat menulis lagu bernama Bali Putra Indonesia. Lagu yang ditulis dengan gamelan itu belum selesai.

Pemindahan Makam ke TMP Semaki Yogyakarta 


Pemindahan Cornel ke Taman Makam Pahlawan sebenarnya sudah diusulkan sejak September 1978. Hampir saja merepotkan, karena beberapa instansi meminta data-data berupa bintang jasa yang ada.

Ternyata Cornel tidak sebiji pun mengantongi persyaratan itu. Ia hanya mewariskan tanda kehormatan Piagam Satya Lencana Kebudayaan yang dianugerahkan tahun 1961 oleh Pemerintah Indonesia. Letkol Suharsono S., Dan Dim 0734 Yogya, menganggap Satya Lencana itu setingkat dengan Bintang Gerilya atau bintang-gemintang lainnya. Jadi bisa dipakai sebagai tiket masuk Mahkam Pahlawan, asal ada izin keluarga.

Usul yang didalangi para seniman yang tergabung dalam ‘Sasana Vocalia Yogya’ pimpinan Suyudono Hr tersebut, akhirnya jadi lancar ketika KSAD Jenderal Widodo memberikan persetujuannya.

Dari Kerkop, kerangka sempat diinapkan di Art Gallery Senisono di samping Gedung Agung. Maklumlah gedung mi dlanggap pusat kesenian Yogya. Selama itu lagu-lagu mendiang berkumandang terus-menerus dibawakan oleh sejumlah bocah dari Paduan Suara Bocah Bocah Sasana Vokalia. Serentetan tembakan salvo mendampingi prosesi ketika sisa-sisa tubuh Cornel Simanjuntak dalam liang lahat yang lebih terhormat di Taman Makam Pahlawan Semaki di kota yang sama. Hari itu, 10 Nopember 1978, Yogya mengenang kembali komponis pejuang itu.

“Gugur sebagai seniman dan prajurit tanah air,” demikian kalimat di batu nisan Cornel Simanjuntak.

sumber : wikipedia indonesia


No comments:

Post a Comment